Siapa sangka, kebijakan yang dimaksudkan untuk menyejahterakan petani justru membuat ratusan mesin penggilingan padi berhenti berputar. Dalam hitungan minggu setelah pemerintah mengumumkan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah, puluhan sentra penggilingan di berbagai daerah terpaksa menutup pintu. Dampaknya bukan hanya terasa di kalangan pengusaha, tetapi juga berpotensi memengaruhi ketersediaan beras di meja makan masyarakat.
Kenaikan HPP gabah yang baru-baru ini diberlakukan pemerintah membawa dampak besar bagi ekosistem perberasan nasional. Kebijakan yang awalnya dimaksudkan untuk melindungi petani ternyata memunculkan tantangan baru di sisi pelaku usaha penggilingan padi. Di berbagai daerah sentra produksi, pemandangan mesin-mesin giling yang berhenti beroperasi mulai menjadi hal biasa.
Berdasarkan laporan CNN Indonesia (Senin, 11/08/2025), Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi), Sutarto Alimoeso, mengungkapkan bahwa sekitar 40 persen pabrik penggilingan padi di Indonesia terpaksa tutup pasca diumumkannya kenaikan HPP gabah. Penetapan HPP sebesar Rp6.500 per kilogram untuk semua jenis gabah membuat biaya bahan baku meningkat signifikan, sementara harga eceran tertinggi (HET) beras tetap dipatok di angka Rp12.500 per kilogram. Kondisi ini membuat margin keuntungan semakin tergerus dan ruang untuk menutup biaya operasional menjadi semakin sempit.
Tekanan bagi pelaku usaha semakin bertambah dengan adanya penegakan hukum terkait kasus beras oplosan. Meskipun penindakan tersebut bertujuan menjaga kepercayaan konsumen, efeknya justru membuat sebagian pengusaha semakin berhati-hati, bahkan memilih menghentikan operasional sementara waktu. Jika kondisi ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan memicu efek domino pada rantai pasok beras nasional. Pasokan dari penggilingan ke pasar bisa terganggu, yang pada akhirnya mempengaruhi ketersediaan dan stabilitas harga beras di tingkat konsumen.
Pelaku usaha berharap pemerintah meninjau kembali kebijakan ini atau setidaknya memberikan skema dukungan yang lebih realistis, seperti subsidi biaya produksi, keringanan pajak, atau akses pembiayaan lunak. Langkah-langkah tersebut dinilai penting untuk mencegah gelombang penutupan pabrik yang lebih besar. Situasi ini bukan hanya urusan petani dan pengusaha, tetapi menyangkut masa depan pangan Indonesia.
Kini saatnya semua pihak—pemerintah, pelaku usaha, petani, dan masyarakat—bersatu menjaga roda produksi tetap berputar. Konsumen dapat berperan dengan lebih bijak dalam memilih produk lokal, sementara pelaku usaha dapat terus berinovasi agar tetap bertahan di tengah tekanan. Dengan kerja sama yang solid, kebijakan HPP yang baru bisa menjadi peluang untuk memperkuat, bukan melemahkan, ketahanan pangan nasional. Mari bersama memastikan lumbung padi Indonesia tetap terisi, demi masa depan pangan yang aman dan berkelanjutan.